YOGA PUTRA, Alis Widodo (32) menukik saat mendengar kata zat pewarna tekstil sintetis. Ia “antipati” terhadap zat warna itu karena membuat proses pewarnaan kain batik tidak ramah lingkungan. Akibatnya, pamor kesahajaan batik pun terus memudar hingga batik mulai sulit mendapat tempat di pasar internasional.
Pada awalnya pria yang tinggal di Dusun Kenteng, Desa Banaran, Kecamatan Galur, Kulon Progo, DI Yogyakarta, ini tidak menganggap pewarna tekstil sintetis sebagai masalah. Selain harganya murah dan amat mudah digunakan, zat warna ini membuat batik juga terlihat semakin cemerlang.
“Belakangan saya baru sadar, ternyata di balik kecerahan warna kain batik modern, terdapat kekejaman terhadap alam yang luar biasa,” tutur Widodo, yang sebelumnya bekerja membantu orangtua memasarkan produk tanah pertanian mereka.
Ia mengetahui kondisi tersebut pada akhir tahun 1990-an. Pada masa itu isu lingkungan hidup kerap menghiasi pemberitaan media massa. Salah satu yang paling santer adalah pencemaran sungai akibat proses pencelupan batik di sentra pembuatan kerajinan batik tradisional, seperti di Solo, Pekalongan, dan sejumlah kota besar lainnya di Jawa Tengah.
Membaca dan mendengar berita-berita itu, ia mengaku jengah. Selaku pencinta batik, ia tak rela kain warisan nenek moyang itu mendapat predikat buruk akibat tak ramah lingkungan.
“Tohokan terbesar saya rasakan pada tahun 1996. Ketika itu ada kabar Pemerintah Belanda menolak kehadiran batik. Alasannya, kain batik kita tak ramah lingkungan. Padahal, setahu saya, orang Belanda itu gandrung dengan batik kita,” kata ayah satu anak ini.
Tindakan nyata
Mulai saat itulah ia berpikir harus melakukan tindakan nyata untuk menyelamatkan citra batik. Satu kunci sederhana adalah kain batik kembali diberi warna dengan menggunakan zat pewarna dari alam.
Langkah awal yang dia lakukan adalah mempelajari jenis-jenis pewarna batik alami. Ada tiga warna utama yang menjadi ciri khas dari batik yang berasal dari Keraton Yogyakarta, yakni sogan (coklat), biru, dan hitam.
Warna sogan belakangan diketahuinya berasal dari hasil rebusan kulit batang pohon mahoni. Sementara hitam adalah hasil perpaduan sogan dan biru. Lalu, bagaimana dengan warna biru?
“Pada awal tahun 2000 setelah membaca banyak buku, saya baru tahu kalau warna biru itu dihasilkan dari tanaman indigo atau dikenal sebagai daun tom,” ceritanya.
Pada awal tahun 1800-an Pemerintah Hindia Belanda pernah mendirikan pabrik pewarna kain di Kulon Progo, tepatnya di Desa Sendangsari, Kecamatan Pengasih, dan Desa Bumirejo, Kecamatan Lendah. Pewarna biru adalah komoditas utamanya. Sebagai bahan baku digunakan daun tom (indigofera tinctoria) yang banyak tumbuh di sekitar pabrik.
Proses pembelajarannya belum selesai. Selama dua tahun ia terus bereksperimen dengan daun tom agar bisa menghasilkan warna biru seperti yang diinginkan. Untuk itu, ia “berguru” pada cerita-cerita masyarakat yang sanak familinya pernah bekerja di pabrik pewarna kain.
“Warna biru itu diperoleh dari hasil fermentasi air rendaman daun tom yang mengalami oksidasi setelah dicampur kapur gamping,” katanya.
Sukses menemukan kembali formula pasta warna biru, sekitar tahun 2003 dia mulai memproduksi batik warna alami. Ia mengambil kain-kain berpola yang sudah ditutupi dengan lilin malam di sekitar daerah Giriloyo, Imogiri, Bantul. Kain-kain itulah yang kemudian diwarnai dan dilorot (dihilangkan) lilin malamnya.
Proses ini tak kalah melelahkan. Agar mendapat warna biru gelap, misalnya, kain dicelupkan ke dalam pewarna hingga belasan kali. Demikian juga dengan penggunaan warna lain.
“Semua proses itu awalnya saya lakukan sendiri. Tak mudah mengajak orang yang mau bersusah-susah menghasilkan batik warna alami. Apalagi hasil pewarnaan alami tidak sebagus pewarna buatan. Banyak yang khawatir batik yang dihasilkan itu tidak laku,” tuturnya.
Warna kusam
Kenyataan menghapus kekhawatiran itu. Batik alami banyak dicari orang, terutama turis asing. Warna kain batik yang kusam dan lembut justru menjadi daya tarik nostalgia bagi mereka. Widodo menangkap peluang ini.
Kerumitan proses dan kealamian warnanya telah membuat batik produksinya laris dengan harga tinggi. Selendang kain batik dengan bahan dasar sutra, misalnya, bisa laku dijual sekitar Rp 350.000 per potong.
Selain menjual kain batik, Widodo juga membuat pasta-pasta pewarna biru indigo. Pasta pewarna yang dia jual seharga Rp 40.000 per kilogram ini kemudian banyak dipesan desainer kain batik asal Ibu Kota dan pemilik-pemilik gerai batik yang tersebar di Kota Yogyakarta serta Solo. Dalam sebulan dia bisa menjual lebih dari 20 kilogram, baru dari pewarna biru indigo.
Sedikit demi sedikit Widodo lalu mengumpulkan modal untuk terus mengeksplorasi kekayaan warna kain alami. Daun mangga bisa diolahnya hingga menghasilkan warna hijau muda, sementara buah pinang akan menciptakan warna merah. Bahkan, kotoran sapi sekalipun bisa dia manfaatkan untuk mendapat warna kuning emas.
Widodo pun tidak lagi harus bekerja sendiri. Untuk memenuhi pesanan pasar yang terus berdatangan, dia merekrut pemuda di desanya sebagai tenaga pewarna batik. Dengan begitu dia bisa menularkan semangat menjaga kelestarian batik kepada generasi muda, selain berbagi rezeki dengan mereka.
Untuk tenaga khusus pewarna ada 1-2 orang yang membantunya, sedangkan untuk mencelup ada 15 orang. Tetapi, pada saat pesanan kain batik meningkat, seperti belakangan ini, dia akan menambah jumlah orang yang membantunya. Mereka yang bekerja sebagai pencelup mendapat upah Rp 15.000-Rp 20.000 untuk selembar kain.
Ketekunan dan kesetiaan Widodo dengan bahan-bahan pewarna alami membuatnya semakin dikenal. Maka, mulai tahun 2005 dia diminta membantu sosialisasi penggunaan pewarna alami oleh Paguyuban Pencinta Batik Indonesia “Sekar Jagad” Yogyakarta.
“Saya hanya berbagi pengalaman. Sekarang ini sudah banyak sentra kerajinan batik yang kembali memakai pewarna alami, seperti di Bantul, Gunung Kidul, kemudian juga di Tegal dan Semarang,” ungkapnya senang.
Untuk memasarkan produknya, batik berpewarna alami, Widodo mengakui bahwa keterlibatannya dalam Paguyuban Pencinta Batik Indonesia “Sekar Jagad” Yogyakarta amat besar pengaruhnya.
“Paguyuban sering menggelar pameran-pameran. Saya ikutkan batik berpewarna alami itu dalam setiap pameran,” katanya. Apalagi pameran pun semakin kerap digelar, terutama pascagempa yang melanda Yogyakarta, 27 Mei 2006.